Selasa, 19 Oktober 2010

Positivisme Hukum

Positivism hokum (aliran hokum positif) memendang perlu memisahkan secara tegas antara hokum dan moral (antara hokum yang berlaku dan hokum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis, tidak ada hokum lain kecuali perintah penguasa. Bahkan, bagian dari hokum positif yang di kenal dengan nama legisme berpendapat lebih tegas, bahwa hokum itu identik dengan UU.


Positivism adalah jiwa yang modernitas. Maka, kritik atas modernitas harus di mulai dari kritik atas positivisme  dengan upaya-upaya untuk menemukan kekhasan metodelogi ilmu-ilmu sosial kemanusian. Bagaimana seharusnya mendekati fenomena sosial? Apakah implikasi-implikasi positivism dalam ilmu-ilmu sosial? Dan jika batas-batas positivism dapat d kenali, di manakah batas-batas modernitas?
                                                                                                                              
Positivism adalah aliran yang sejak awal abad 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia, terutama dalam kajian bidang hokum. Dalam perkembangannya, ilmu hokum mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan kehidupan dan prilaku warga masyarakat (yang semestinya mengikuti norma-norma kausalitas). Oleh kerena itu, kaum positivism ini mencoba menulis kausalitas-kausalitas sdalam bentuk UU.
Legal-positivism memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hokum dan moral. Hokum, bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kaca mata positivism tidak ada hokum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggab bahwa hokum identik dengan UU. Hokum d pahami dalam perspektif yang rasional dan logic. Keadilan hokum bersifat formal dan procedural. Dalam positivisme, dimensi spiritual dengan segala perspektifnya seperti agama, etika dan moralitas diletakkan sebagai yang terpisah sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Hokum modern dalam perkembangannya telah kehilangan unsure yang esensial. Yakni nilai-nilai spiritual. Paham hokum tersebut masihmembelengguh pola pikir kebanyakan pakar dan praktisi hokum di Indonesia.
Sebagai contoh terlihat jelas pada:
1.      Vonis bebas sama sekali terhadap Adlin Lis (pembalak hutan) oleh pengadilan negeri medan
2.      Vonis majelis hakim pada tingkat kasasi terhadap pollicarpus yang menyatakan pollicarpus tidk terbukti melakukan pembunuhan terhadap Munir sehingga hanya dipersalahkan memalsukan surat.
          Paham hokum seperti yang tersebut di atas sangat berbeda dengan pradigma hokum sosiologi yang berangkat dari asumsi bahwa hokum adalah sebuah gejala sosial yang terletak dalam ruang sosial dan dengan itu tidak bisa di lepaskan dari konteks sosial.
         
           Hokum bukanlah entitas yang sama sekali terpisah dan bukan merupakan bagian dari elemen sosial yang lain. Hokum tidak akan mungkin bekerja dengan mengandalkan kemampuannya sendiri sekalipun ia dilengkapi dengan perangkat asas, norma dan institusi.
          Berdasarkan paradigm hokum seperti itulah Majelis Hakim  Mahkamah Agung dalam kasus Peninjauan Kembali (PK) terhadaap kasus terbunuhnya Munir, berkeyakinan bahwa Pollicarpuslah yang membunuh aktivis HAM, Munir.

           Ketika pada akhir abad ke-17 perusahaan dagang Belanda sampai di Nusantara (fase pertama dalam penjajahan) kegiatan bisnis mereka didominasi oleh tugas untuk mengeksploitasi sebanyak dan secepat mungkin daerah-daerah penghasil bahan pertanian, sehingga persoalan hokum masyarakat pribumi tidak diacuhkan.
1. sikap semacam ini sangat jelas terlihat dalam secara Belanda menangani persoalan hokum pribumi  yakni hokum-hukum yang sangat penting untuk kepentingan mereka saja yang sengaja di buat oleh belanda selama periode kurang lebih dua abad dari kekuasaan VOC di Nusantara.
2. Sikap Belanda berubah manakala kendali atas nusantara berpindah dari tangan VOC ketangan pemerintah Belanda (fase kedua dalam penjajahan), sebuah fase ketika pengalihan hokum sipil ke  Nusantara menjadi lebih serius seiring dengan perubahan pendekatan Belanda terhadap nusantara dari sekedar pendudukan ekonomi menjadi sepenuhnya jajahan. Menurut Ratno Lukito, bisa dibilang bahwa kemunculan pertama tradisi hokum sipil di Nusantara pada dasarnya melekat pada praktik penjajahan, di mana ideology sentralisme hukumnya langsung mengukuhkan keberadaannya dalam kehidupan masyarakat pribumi.
3. Sebagai konsekuensinya, Belanda menegakkan tradisi sipil, yang mereka bawa  dari negeri asalnya untuk membangun ideology hokum Negara d tengah berbagai nilai hokum (hokum adat dan hokum islam) yang sebelumnya sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat. Walaupun demikian, Belanda menganut politik hokum adat (adatrechtpolitiek), yaitu membiarkan hokum adat itu berlaku bagi golongan masyarakat Indonesia asli dan hokum eropa berlaku bagi golongan eropa yang bertempat tinggal di Indonesia (Hindia Belanda). Dengan demikian pada masa hindia belanda berlaku pluralism hokum. Namun perkembangan hokum di Indonesia menunjukkan kuatnya pengaruh hokum colonial dan meninggalkan hokum yang berkembang dalam masyarakat.
4. Pada awal abad ke-19, menandai munculnya gerakan positivisme yang amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia.
5. Positivisme bukan hanya muncul dalam bidang masyarakat, melainkan juga dalam bidang hokum sendiri. Aliran ini diberi nama positivisme yuridis untuk membedakan dengan positivisme sosiologi.
6. Dinamakan positivism, oleh sebab inspirasi dasar dalam aliran ini sama dengan inspirasi dalam positivism sosiplogi. Sebagaimana di ketahui bahwa dalam positivism sosiologi hanya apa yang ditetapkan sebagai kenyataan dapat diterima sebagai kebenaran, demikian juga dengan positivism yuridis. Dengan demikian, menurut aliran ini satu-satunya hokum yang diterima sebagai hokum merupakan tata hokum, sebab hanya hokum inilah dapat dipastikan kenyataannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar